MARI BERSASTRA DAN BERKARYA

Di sini bukan arena pertarungan ala rimba, tapi coba setitik tinggal dilembah nurani sekedar menghisap tirta murni, sari pati puting ibu pertiwi dan cumbu illahi. Buat yang pernah berhenti dan mengajak menari, lalu dengan senyumnya yang tertinggal kembali melanjutkan perjalanannya tuk meraih sesuatu yang lebih berarti. Buat mereka semua yang mencoba jejakkan kakinya di tanah hati.

Sajak - Sajak Badrut Tamam Diudiu


Kue Lapis

Negrimu, sayangku!
begitu manis dan lezat seperti kue lapis
asli buatan surga. Renyah
dan enak dikunyah, mudah dibelah
menjadi dua komunity berbalik arah
antara kue rakyat dan kue pemerintah
Semuanya terasa manis
bikin lidah ular-ular mendesis

Karena negrimu negri kue lapis, sayangku,
lalat-lalat dan semut mengerubut
bertahta di atasnya, seperti anai-anai
menggerogoti tiang-tiang bendera
di halaman rumahmu yang kemarin tumbang
sehabis dicumbui badai

Sungguh nikmat negrimu, sayangku,
negri kue lapis di atas nampan emas
perlahan terkikis seperti peluh dan darah
amis menguap
ke udara yang jengah.

Bekasi, 2010
Badrut Tamam Diudiu

Becak On The Way

Di muka sejarah yang paling sendu
ada deru yang lupa kita aduk
dalam semangkok lagu-lagu yang merdu
Dahagapun tak kunjung usai
pada konser resah kaum usiran

Di atas bangku-bangku berdebu
kita duduk manis sambil bersiul
pada awan-awan. Dan sejarah
yang mengayuh kita dari belakang
ngos-ngosan di lapuk usia
pada bahu yang terbungkuk
seperti nasib yang terbatuk-batuk

Kemana juga sampainya?
ke mall atau ke pemakaman sama saja
bikin ternak-ternak menjadi lupa
cara makan dan minum ala kadarnya

Ketika roda nasib berputar
di gang-gang yang sunyi dan sempit
kau dan aku lupa diri
tak tahu kemana laju kereta ini
karena kita memang lupa mengayuh
matahari sendiri
Lupa bayar ongkos sejarah
yang datang
dan yang tumbang hari ini

Bekasi, Juni 2011
Badrut Tamam Diudiu

Pertemuan di Warung Kopi

Setetes darah seorang veteran, dan setetas darah
orang kekinian. Bertemu di sebuah warung kopi.
Setelah berjabat tangan dengan keringat, dua tetes
darah itu saling memandang, sambil menggenggam
belulang dan dagingnya masing-masing.

Di bangku-bangku kenangan dan pengharapan
penuh debu. Mereka duduk
bercengkerama, berjuntaian di tembok nasib
yang gerah nan gamang:
mimpi-mimpi terpasung di kuali waktu mendidih.

Ini jamanku, kata darah orang kekinian. Daging
dan darah kita ini, bolehlah kita jual. Kita rebus
atau kita goreng dulu seperti pisang, ubi, tahu,
atau tempe.
Nyatanya, harga setetes darah tak semahal harga
daging dan belulang, katanya.
Setetes darah seorang veteran membeku, gigil,
pucat dan bening seperti airmata. Mereka pun diam
tak saling bicara. Memalsu yang pahit
dengan gula-gula hampa dalam secangkir resah

Pada sisa tenaga yang nyaris punah. Mereka
mengunyah getir rencana-rencana siluman. Saat
busa-busa asmara dari bibir teknologi berhamburan
kedalam benak sejarah, hitam, bagai banjir luka
masalalu, dan duka masakini menyeruap, pecah
bergetah. Karena tak sanggup menampung
gelegak darah!

Bekasi, 2012
Badrut Tamam Diudiu

Nasi Bungkus

Di perkampungan sunyi yang jauh
atau di nadi-nadi perkotaan
yang senyap. Darah mengalir
di kali pemikiran yang anyir

Kita berdua, makan sebungkus hati
karena setiap kali kita membuka 
sebungkus nasi,
kita menemukan sebuah negri
yang modelnya seperti tahu dan tempe,
kadang seperti bakwan dan ikan teri
dicumbui orek generasi
yang gugup di tengah gempita situasi
tertimbun diam, mie basi birokrasi
plus sambal-sambal politik berbau terasi.

Dalam sebungkus nasi, kita menemukan
tubuh apek para petani, mengerami
telur-telur resah
dalam benak yang jengah
dan semua itu terpaksa kita telan
diam-diam, sembari mendesis
karena semua yang kita kunyah
asam, pahit, tawar ataupun amis
tidaklah gratis!

Bekasi, Des 2011
Badrut Tamam Diudiu

Main Kartu

“Tak siapapun dapat menduga takdir
sebelum permainan benar-benar rampung!”

Kartu-kartu kita mainkan, di sebuah gardu. Lagu
padamu negri berkumandang, bagai suara gergaji
mengiris sejarah anak-anaknya sendiri.
“Dalam permainan ini, kita pakai hukum rimba”. Ujar
raja hitam. Raja hati menyatakan tak setuju
sebab apa gunanya selembar hati
di dalam rimba yang dengki?

Maka demi tegaknya demokrasi. Rakyat di dalam kartu
mengadakan voting, sekaligus memilih pemimpin
atau penglima solusi yang memegang tongkat hukum
sebagai kuasa.

Pemilu pun usai berkali-kali. Raja dan ratu hati tersingkir.
Raja dan ratu hitam berkuasa. Raja dan ratu hitam berkuasa.

Permainan terus berlangsung dengan sistem rimba.
Raja dan ratu bergandengan layaknya selebritis. Bersafari
di sekujur almanak negri. Barisan pengangguran
dan muda-mudi berjejer seperti  angka-angka merah
yang selalu alpa dari rapat-rapat di parlemen. Seperti
hari-hari libur di gubuk batin yang tak makmur.

Dalam permainan ini, berjejer raja-raja dan para ratu.
raja dan ratu Skop, Wajik, Hati dan Klaver datang bergantian

: Raja adil dan Ratu adil, tak pernah ada
sejak permainan kartu diciptakan!

Bekasi, 2012
Badrut Tamam Diudiu, penyair kelahiran Madura, tinggal di Bekasi
Di setujui oleh penyairnya

No comments:

Post a Comment