MARI BERSASTRA DAN BERKARYA

Di sini bukan arena pertarungan ala rimba, tapi coba setitik tinggal dilembah nurani sekedar menghisap tirta murni, sari pati puting ibu pertiwi dan cumbu illahi. Buat yang pernah berhenti dan mengajak menari, lalu dengan senyumnya yang tertinggal kembali melanjutkan perjalanannya tuk meraih sesuatu yang lebih berarti. Buat mereka semua yang mencoba jejakkan kakinya di tanah hati.

17 Agustus 2010


17 Agustus 2010
Menjelang Agustus warga kampung pasti disibukkan dengan aneka kegiatan. Kerja bakti membersihkan kampung, mengecat pagar rumah, menghias poskamling dan sepanjang jalan dengan atribut yang bercorak merah putih. Semua itu belum termasuk dengan diadakannya lomba untuk memeriahkan hari kemerdekaan yang senantiasa diperingati tepat ditanggal tujuh belas bulan Agusutus. Namun, kali ini tidak ada yang istimewa, jalanan masih kosong walau kalender sudah menunjukkan angka 17 Agustus pagar rumah warga, poskamling bahkan gapura desa yang biasanya tampil dengan wajah mentereng kini catnya mulai pudar dan mengelupas. Melihat hal ini, hati saya seperti di hianati. Saya tidak terima, harus segera diberi penjelasan tentang hilangnya makna angka 17 Agustus dari jiwa warga kampung.
“ Ini tidak bisa dibiarkan, sebagai Ketua RT, bapak harus segera menindak lanjuti rasa nasionalisme yang telah luntur dari warga kita “ .
“ Baiklah, aspirasi anda saya tampung, nanti saya kordinasikan dengan para staf agar segera mengumpulkan warga ”.
“ Hal ini bersifat mendesak Pak, ini menyangkut kehormatan dan harga diri warga, jangan sampai muncul sebuah berita yang menyatakan bahwa warga kita adalah warga pemberontak, warga yang tidak bisa menghargai jasa para pahlawan.”
“ Sabar, anda harus berhati-hati dalam berstatement, jangan berpikiran negatif dulu, warga tidak bisa dipaksa, bukankah Negara kita Negara yang demokratis ? ”
Mendengar jawaban itu saya langsung bangkit dan pamit pergi. Rupanya tidak ada gunanya saya melapor, Ketua RT ternyata juga tidak terlalu respek dengan semangat kemerdekaan. Sepanjang perjalanan saya terus berfikir dan menduga-duga. Mungkin ini bukan masalah nasionalisme yang luntur melainkan sebuah bentuk protes warga terhadap Negara dan seluruh warga telah terkodinir dengan rapi untuk tidak mengibarkan merah putih di depan rumah.
Saya masih ingat dengan jelas, sepuluh tahun yang lalu seluruh warga kampung termasuk saya melakukan demo besar-besaran di kecamatan. Kami semua menuntut kepada Negara agar diberikan hak sebagai warga Negara yaitu hak untuk hidup dan bertempat tinggal ditempat yang layak. Karena itu kami semua berharap kepada Negara akan mengesahkan kepemilikan atas tanah yang kami tempati sebagai hak dan milik kami sendiri secara pribadi bukan hanya hak untuk membangun diatas tanah saja. Tapi sampai saat ini masalah itu belum juga selesai, sertifikat tanah yang kami punya masih berstatus surat ijo. Pasti karena ini semua warga enggan mengibarkan merah putih di hari kemerdekaan ini. Mereka pasti mengira tidak ada untungnya menjadi warga Negara bila hak mereka tidak terpenuhi. Tapi bisa-bisanya saya tidak diberi tahu tentang bentuk protes ini, sehingga hanya saya saja yang mengibarkan merah putih di depan rumah, padahal waktu itu saya terus berjuang atas tanah yang kita miliki sejak turun temurun itu sampai kepengadilan.
Istri adalah tempat mengeluh dan mengusap semua rasa gelisah kita. Istri adalah tempat berbagi dalam hidup. Sesampai di rumah saya menyampaikan segala gundah pada sang istri. Tapi seperti biasanya, dia selalu menanggapi dengan dingin. Saya selalu di respon negatif kalau bicara tentang Negara, buatnya saya harus bekerja lalu pulang dan memberinya uang belanja tidak perlu saya mengurusi Negara.
“ Negara itu sudah ada yang mengurus, buat apa kita melakukan Pemilu kalau mereka yang kita pilih itu tidak bisa mengurus Negara kita ? “, Selalu itu yang di ucapkannya.
Kali ini ia menambahkan, Jika merasa dihianati, pilihanya Cuma ada dua, yaitu ikut tidak memasang bendera didepan rumah atau membiarkan saja bendera itu disana sepanjang bulan.
Saya semakin bingung, tidak ada yang sependapat dengan saya dikampung ini. Mereka semua seolah dibutakan oleh ketamakan terhadap benda. Padahal para pahlawan dulu rela mengorbakan tanah dan nyawa mereka demi kita saat ini. Tidak puas dengan pendapat sang istri saya pergi ke warung, disana biasanya para warga berkumpul untuk sekedar minum kopi ataupun berniat untuk bicara tentang seluk beluk keadaan kampung. Satu hal lagi yang terpenting, agar tidak di cap penghianat oleh warga saya mencabut bendera di depan rumah, menyimpannya dalam almari lalu pergi ke warung di pinggir kampung.
Tepat seperti dugaan, warung telah ramai oleh warga tanpa basa – basi saya langsung memesan segelas kopi. Disinilah warga menghabiskan waktu dimalam hari, melepas penat cari nafkah keluarga dengan bercengkerama dengan kawan lama. Memang hanya begitulah hiburan para warga terutama yang laki-laki sebab para kaum istri, setelah disibukkan dengan menyiapkan kebutuhan suami dan keluarga mereka melakukan kesibukan wajib setiap hari  yaitu menonton sinetron. Para lelaki yang jenuh dengan cerita TV pasti berada disini, menenggak segelas kopi lebih bisa menghapus penat dari pada terjebak liku-liku cerita sinetron yang semakin tidak mendidik itu.
Tidak ada aktifitas khusus disini, semua berjalan seperti biasanya tidak begitu istimewa. Para kaum muda sibuk main karambol dan ada yang bermain catur sedang bapak-bapak sebagian bercanda dan bermain kartu. Setengah jam saya mengamati, memasang telinga dan memancing warga dengan pembicaraan tentang pahlawan di zaman perang tapi sepertinya mereka tidak peduli, malah mereka sibuk berbicara dan bercerita tentang kesibukkan kerja mereka.
Entah ini sudah kekecawaan yang keberapa. Segalanya berjalan rapi, tanpa kordinasi tapi semua seperti seirama, tidak perlu bahas kemerdekaan apalagi memasang merah putih di depan rumah. Tidak seperti dulu, saat kita sama-sama protes tentang sertifikat tanah. Setiap hari ada rapat warga, diwarung dibalai desa semua bicara tentang hak yang di rampas dari warga. Kami seolah-olah diperas diberikan kewajiban beban pajak tapi tidak pernah berikan hak sebagai warga Negara. Tapi walau seperti itu seriusnya tetap saja, waktu dipengadilan yang datang hanya para staf kelurahan dan yang berstatus sebagai warga biasa hanya saya. Tapi kali ini tidak perlu rapat, tidak perlu pasang spanduk ataupun demo dikecamatan. Semua berjalan seperti tidak ada apa-apa.
Waktu telah larut, warga satu persatu beranjak pulang kerumah. Saya pun demikian, setelah membayar saya pun berlalu. Mungkin lebih baik saya mengikuti warga tidak perlu resah dan terlalu serius bicara Negara dan kemerdekaan. Mending istirahat dirumah, simpan tenaga dan fikiran untuk bekerja esok hari dan biarkan 17 Agustus saat ini dan untuk tahun-tahun mendatang berjalan tanpa ada apa-apa. Setidaknya dimulai sejak tahun ini. Sampai dirumah saya langsung rebah diranjang, pasti harus seperti ini, kadang masalah dan resah harus dipasrahkan, biar waktu yang menyelesaikan segalanya.
Saat terlelap di pagi-pagi benar saya tersentak. Pintu kamar di ketuk dengan keras. Saya langsung bangkit cari tahu apa yang terjadi. Betapa kagetnya saya saat membuka pintu, didepan pintu telah berdiri dengan wajah marah anak laki-laki saya yang telah kuliah di perguruan tinggi swasta.
“ Ayah telah memberontak!”
“ Ayah bukan lagi menjadi warga Negara yang baik dan tidak punya jiwa nasionalisme.”
“ Mengapa ayah tidak mengkibarkan bendera di depan rumah di hari kemerdekaan? “
Sejenak terdiam, saya bingung hendak menjawab apa ingin rasanya saya jelaskan tentang ini. Tapi saya harus mulai dari mana, dari saya yang dihianati warga atau saya yang menghianati warga. Belum sempat saya menjawab anak saya itu lsngsung mengambil bendera dalam almari lalu memasangnya di depan rumah kemudian pergi berangkat kuliah.
Mungkin inilah jawab atas segala masalah itu. Saat ini waktunya yang muda yang bergerak. Orang seperti saya waktunya diam dan mengamati saja. Biarkan mereka para pemuda belajar dan pegang kendali.
Ngagel, 17 agustus 2010