MARI BERSASTRA DAN BERKARYA

Di sini bukan arena pertarungan ala rimba, tapi coba setitik tinggal dilembah nurani sekedar menghisap tirta murni, sari pati puting ibu pertiwi dan cumbu illahi. Buat yang pernah berhenti dan mengajak menari, lalu dengan senyumnya yang tertinggal kembali melanjutkan perjalanannya tuk meraih sesuatu yang lebih berarti. Buat mereka semua yang mencoba jejakkan kakinya di tanah hati.

BUMI _ B - U - M - I

pertiwi,sepasrah bumi menahan luka yang kita beri

nanahnya muncrat, porong pun tergenang dalam anyirnya

SAMA SAJA

kebenaran merapuh
tuhan dibujursangkarkan
dikocok dimainkan
atas ambisi kekuasaan
diktator, tirani, feodal bergantian
khilafah, demokrasi, kerajaan sama saja
hanya ujung
dari pangkal kekuasaan
tuhan
rela tak rela
ayatmu didogmakan
bukan atas kebaikan
hanya demi sebentuk jabatan
dan alasan
perang
tuhan
ada tak ada
hadirmu teruang
dalam kitab dan plakat
bukan menancap kuat
dikalbu umat
tuhan
mengapa diam
atau kau tak benar ada
marahlah tuhan
marah
apa kau telah putus asa
bukan
itu bukan dirimu
andai benar
pasti terangkai dengan kata yang indah.
170707




DEBU


debu-debu selalu ada. Dimanapun, kapanpun. Ia datang kirimkan wajah, keraguan, kekuatan dan cinta. Wajah itu…Serpih Jiwa. Terus menghujam dada. Membayang dalam imaji. Merasuk, menyelinapi darahku. Wajahmu serpih jiwa, tak mampu aku menepisnya.
Keraguan pasti datang diantara wajah-wajah itu dengan membawa serombongan saudara-saudaranya. Mereka bernama bimbang, takut, kuatir dan prasangka buruk lainnya. Mereka datang beriring bersama dikala ruang dan waktu memisahkan kami. Apakah ia setia ? Bersama siapakah ia kini ? serangkaian pertanyaan yang muncul itu selalu bisa merisaukan hati. Menggundahkan, hingga menggiringku pada ruang keraguan.
Tetapi ia kadang kala menyuntikkan kedalam tubuhku spirit baru. Sebuah mega power yang tercipta dari anggun sikapnya. Hamper setiap hari ia ada menemuiki, menyapa, melayangkan simpul senyum. Semua itu tak ubahnya suplemen vitamin bagiku, memperkaya sumber energiku. Sehingga aku selalu bersemangat menjalani waktu dan hari-hariku. Selalu siap melakukan apapun, untuknya, untuk serpih jiwaku.
Setiap persuaan itu, ia pasti melontarkan mantra-mantra sihirnya. Mantra-mantra yang mempengaruhi pola fikirku agar bisa lebih dewasa dan bertanggung jawab. Mantra yang membuat aku lebih berarti dan menerbangkan hatiku keawan tinggi.
“sayang aku rindu”
“yang peluk aku”
“yang kecup keningku dong”
masih terlalu banyak rajuk manja yang selalu diutarakan ketika kita saling berjumpa. Kata-kata yang akhirnya menyadarkanku bahwa aku tak lagi sendiri. Aku harus lebih bisa memahami. Aku jatuh cinta padanya, pada serpih jiwaku. Cinta yang tulus, cinta yang mengalir dari samudera. Cinta dari debu-debu yang selalu ada dan terlupakan. Cinta yang selalu ada rindu bila tak bertemu. Rindu yang terkadang menggebu laksana tebu terbawa badai. Rindu kasih, rindu manja, rindu ragu, rindu serpih jiwa.
Rupanya debu-debu itu sampaikan pesanku. Ia kini telah hadir disini. Aoranya kuat kurasa. Ia yang tidak cantik tapi menarik hingga mampu mempesona siapa saja. Dia adalah gadis yang mampu menjaga diri dan memperjuangkan hak-haknya. Bersamanya, pasti bahagia kurasa.
Tapi Tuhan punya cerita yang lain tentang kisahku. Dia sengaja memperpanjang episode dengan menghadirkan konflik yang justru membuat renggang hubungan kami. Berantai-rantai persoalan itu hanya soal atas nama. Nama- nama yang diagungkan terlalu tinggi, sehingga menjelma menjadi berbagai kata. Agama, Negara, Masyarakat bahkan Ego.
Pernah kusampaikan padanya bahwa hidup itu logis dan realities. Manusia masuk pada ruang filosofis yang disempurnakan pada tanah etik. Adapun etik adalah aplikasi nyata dalam bermasyarakat. Kita seharusnya, bisa sesuaikan diri dengan lingkungan dan kondisi masyarakat. Timur memang kiblat kemuliaan tapi barat juga sah-sah saja diambil kebaikannya. Tiada kebenaran yang mutlak didunia kehadiran kita hanya meraba kebenaran.
Dia tak bisa mengerti, menurutnya aku terlalu kebarat-baratan. Ah..aku jadi bingung dibuatnya. Jika bagimu timur lebih mulia lalu mengapa dia yang kau sebut Tuhan itu menghadirkan barat ? jika aku tak boleh memakai istilah barat mengapa kau bebas memakai istilah timur, bukankah barat dan timur hanya sebutan ?
" ini adalah bahasa tuhan " ucapmu
"lalu bahasa apa yangm kuucapkan sekarang " tanyaku
"itu juga bahasa tuhan"
"mengapa aku salah menggunakannya?"
"engkau tidak salah, tapi kita harus bisa memilih mana yang terbaik bagi kita"
"dengan apa kita tentukan baik buruk itu?"
"hanya tuhan yang bisa tentukan apa yang terbaik bagi manusia"
"bagaimana dia sampaikan pesan itu kepada kita, lalu apa fungsi kita?"
"ia sampaikan itu lewat wahyu dan kitab-kitabnya"
"bagaimana kau tahu itu kitabnya dan kebenaran kitab itu?"
"ya itu pasti, karena itu baik bagi kita, telah banyak yang berpendapat seperti itu"
"darimana kau tahu itu baik?"
"dari kitab suci"
"ah kau hanya plagiat kebenaran, tak tahukah engkau keunggulan kitabmu itu ?"
"menurutmu apa?"
Kitab itu benar dan diyakini kebenarannya melalui nalar akal yang sehat. Semua kalimatnya harus dianalisa dan tidak diterjemahkan begitu saja. Karena kalimatnya adalah syair yang menjadi sebuah sastra yang agung. Sastra itu harus dipandang dari berbagai sudut, tempat, masa dan kondisinya.
Peristiwa itu terus saja terjadi. Walau tidak sama persi tapi permaslahannya yang jadi pertikain pasti tidak melenceng dari sebuah prinsip menjalani hidup. Kita berselisih pada paham yang didasari pada keyakinan. Keyakinan tanpa mau menelaah makna dan proses dari pencarian. Untung saja kita masih ada cinta. Rupanya itulah yang selama ini memainkan peran sebagai perekat kerenggangan hubungan kita. Sering kukatakan padanya, benar dan salah biar nanti dipengadilan tuhan yang tentukan. Perbedaan bukan untuk disamakan tapi untuk disatukan. Kita ada untuk saling melengkapi. Perbedaan bukanlah halangan bagi kita, tapi justru sebagai pembentuk keagungan khazanah dunia.
Serpih jiwaku dengarlah!
Dalam setiap huruf yang tertuang disini dengan tulus menyanjungmu. Aku dapat mengerti maksud hatimu. Tapi tolong kita berhenti sejenak pada jalur masing-masing. Mari kita renungkan bagaimana arah langkah kita selanjutnya. Jika kita mau menelaah lagi dan lebih sabar menerima, kita takkan seperti ini. Terbentur pada ruang kebenaran. Bukankah kita sama-sama yakin pada keesaan tuhan? Biar saja itu yang menjadi tali pengikat kita.
Saying
Jika kita mau belajar lagi, serta mau saling menemani, tentu semua ini takkan terjadi. Hidup adalah puzzle, kita ada saling melengkapi terkumpul dalam ruang dunia dan dinaungi langit yang sama. Dia yang maha ada adalah ruang lahir dan kembali. Kita bisa menelaah dan menalar yang terbaik bagi kita. Dunia ini yang kita sebut bumi telah dipasrahkan kepada kita untuk dieksplorasi. Kita harus bisa memanfaatkaanya dengan benar dan baik sebagai kelangsungan hidup kita dan generasi sesudah kita.
semua penjelasanku seakan percuma. karena ia telah terlarut dalam sebuah romantisme. baginya hidup harus tetap sama seperti dulu. ia lupa bahwa waktu telah berubah, kita mengalami evolusi pemikiran. segala sesuatu yang ada, baik idealis, nasionalis, animisme, agamis maupun isme yang lain adalah produk kebudayaan. semua terletak pada keyakinan kita jangan terlalu fanatik atau kebablasan. karena segala sesuatu yang berlebihan itu buruk.
Hidup memang sulit, penuh tantangan. bersatu dalam perbedaan adalah tantangan bagi kita. Semua itu agar kita lebih dewasa dalam mekmanai perbedaan. kita harus bijaksana dalam bersikap dalam melakukan tindakan. jika ego ataupun idealisme kita paksakan kepada orang lain hanya akan menimbulkan perpecahan dan perselisihan. Hidup harus bisa bertoleransi dan duduk berdampingan. jaangan pernah meniadakan sesuatu, biarkan semua ada. jika ada itu tiada maka tiada tak pernah ada. Jika tiada itu tiada maka ada tak pernah ada.


DIALOG KAMAR MANDI *

“Adakah yang kau tangisi dari kehilangan selain waktu yang terlewati sia-sia
Sekarang adalah kesempatan merubah keadaan bukan esok apalagi hari depan”. Q-Pely

Sontak ia bangun,rasanya ada yang salah pada perutnya. Entah memang sudah waktunya atau karena semalam ia habis makan tiga mangkok bakso super pedas. Sehingga, pagi ini ia dipaksa segera kekamar mandi. Tuntaskan kewajiban perintah perut. Segera saja ia bergegas tanpa banyak alasan dan pikir panjang baginya, soal perut jangan terlalu diperdebatkan. Sedikit saja mengulur waktu bisa fatal akibatnya. Untung kamarnya atau lebih tepat lagi tempat dia tidur dan mengekspresikan seluruh gundah dan kesakitan jiwanya berdekatan dengan kamar mandi jadi beberapa langkah saja dia sudah masuk kedalam dan menutup pintunya rapat-rapat. 
Waktu masih Sangat pagi, jarum jam belum beranjak dari angka enam. Dalam kamar mandi dia berguman sendiri, tentang semalam dapat traktiran dari temennya yang kebetulan mendapatkan bantuan telajar dari dinas terkait, hinggá soal keenggannanya untuk mengikuti jalan temannya.
“Aku gak mau ikutan latah, walau aku tergolong kurang mampu tapi enggan minta PPA atau BBM,karena aku malu.”
“Malu saya bukan ketidak mampuan tersebut,tapi malu pada diriku, aku lelaki yang masih sangat sehat, untuk mencari dana biaya kuliah masa gak mampu ?”, gumanya dalam hati sambil menghisap sebatang rokok surya sisa semalam. 
Entah mengapa sulit sekali baginya mengelabui nurani, andai ia bisa bersikap seperti Afan, teman yang menraktirnya semalam, tentu ia tak perla tersendat-sendat dalam menempuh kuliahnya. Ya, setidaknya ia akan sedikit terangkat dalam persoalan biaya. 
“Sebenarnya aku iri padamu, engkau kecukupan, kekampus bawa motor, pergi kuliah ada uang saku dari ortu, belum lagi Sekarang dapat beasiswa, sedangkan aku, biaya kuliah cari sendiri, mau dapat uang saku, dari siapa? tempat tinggal sementara yang sempat tertolong dengan fasilitas dengan mengikuti UKM, Sekarang jadi tak menentu setelah pemberlakuan jam malam.” Keluh Abdi pada Afan. Mendengar itu afan tertawa geli. 
“ Siapa suruh kamu tidak mengajukan permohonan beasiswa?, ini surabaya bung, salah satu kota besar indonesia, kekejaman dan saling menikam itu Sangat lumrah disini.”.
“Apa aku salah menuruti nuraniku?”
”Di sini jangan pakai hati atau nurani tapi pakailah belati, sudahlah kawan makan saja dulu, rejeki ini rejeki kita berdua.” terang Afan coba mengalihkan perhatian.
”Ah, kamu selalu begitu, terus saja mencela prinsipku, fan kapan kamu registrasi?”
”Saya? Sudah tiga hari yang lalu, kamu?”
”Gimana ya, saya pengen secepatnya untuk bisa registrasi tapi,tahu sendiri sampai saat ini aku lum punya duit.” “Fan untuk registrasi emang harus bayar spp sama kemahasiswaan ya?”.
“Soal gituan jangan tanya ke aku, tanya sama pihak kampus saja, bagiku yang penting beres.”. “ kalo diminta seperti itu,ya saya turuti saja, gak ada gunanya bung melawan birokrasi kampus, yang ada kita malah dipersulit.”.
“Itu menurutmu yang memang kecukupan, tapi ini bukan soal uang Fan, ini soal hak kita sebagai mahasiswa, coba kita pikir berapa biaya yang kita keluarkan untuk kuliah di Universitas Pasti Apik ini, apa sudah seimbang dengan fasilitas yang kita dapatkan?”.
“Itulah salah satu kesalahan terbesarmu kawan, selalu saja persoalkan kebijakan kampus, dari jam malam yang selalu kau tentang sekarang bahas biaya, sudahlah turuti saja, biar cepat lulus”
“Aku memang pengen cepat lulus Fan, tapi aku tidak tahan dibodohi terus, paling tidak tahan lagi jika seluruh Fakultas Bing (Fakultas Bahasa Ingatan) dibodohi, sekarang kutanya fan berapa rupiah untuk bayar kemahasiswaan?”.
”Untuk angkatan 2005 Fak Bing empat puluh ribu memang kenapa ?”.
”Begini Fan, jika satu mahasiswa harus membayar empat puluh ribu, lalu coba kita kalikan dengan jumlah mahasiswa kelas kita atau seluruh fakultas kita yang seangkatan, berapa hasilnya ?”.
Mendengar pertanyaan tersebut Afan tertawa terbahak-bahak, sampai-sampai pentol bakso yang dikunyahnya melompat keluar, untung tidak mengenai wajah temannya yang idealis itu.
”Abdi, Abdi yang pasti jumlahnya ratusan atau jutaan, untuk lebih detailnya tanyakan pada teman kita Fakultas Menghitung Jumlah (FMJ), gimana Fal berapa jumlahnya?”
Falak dari Fakultas Menghitung yang sejak tadi menyimak pembicaraan Abdi dan Afan hanya tersenyum, lalu dengan gaya bijaksana berkata, “ Memang kenapa pakai dihitung, biarkan saja, dari dulu sampai sekarang memang sudah sewajarnya dalam pendidikan kita harus dikenai beban banyak hal, beban yang wajar atau dibuat wajar, contohnya mungkin beban yang harus kita lunasi untuk kuliah ini, tapi semua itu demi pendidikan dan kepintaran yang kita dapat, bukan begitu?”.
“Sepakat.” sambut Afan.
“Dasar kapitalis pendidikan, ini bukan sesederhana itu, ini masalah manajemen keuangan kita.” kata Abdi sambil meletakkan mangkok baksonya yang kedua. “begini bung seandainya ada tiga ratus mahasiswa fakultas Bahasa Ingatan, maka otomatis jumlah uang kemahasiswaan satu juta dua ratus ribu rupiah, kita sudah bayar biaya perkuliahan dengan SPP dan registrasi, untuk sewa gedung kita juga bayar, lalu buat apa uang sebanyak itu?. Bung ini hanya teman sefakultas coba kita kalikan dengan jumlah mahasiswa Universitas Pasti Apik ini, minimal yang seangkatan dengan kita?”
“Sampai segitunya teman kita satu ini, gimana fan pendapatmu?”.ungkap Falak melimpahkan pertanyaan pada Afan.
“Yang pasti banyak nolnya, tapi buat apa kita mikirin itu? Gak ada gunanya.”, sergah Afan.
Memang tidak ada gunanya, tapi sadar atau tidak kita telah mengeluarkan begitu banyak biaya untuk kuliah dengan pengharapan mendapatkan cukup ilmu sebagai bekal melangkahkan kaki dalam hidup ini. Sebagai mahasiswa yang kurang begitu mampu Abdi merasa beban itu semakin berat, walau dia tahu sudah sepatutnya dan dianggap wajar pendidikan itu mahal dan punya orang kaya. Tapi bagaimanapun dia harus bisa terus belajar untuk mematahkan generasi kemiskinan keluarganya. 
Apa iya memang sangat mahal? Sehingga kita dipaksa melunasi biaya yang kurang jelas arahnya. Abdi tahu diri trah kemelaratan tak sepantasnya jadi alasan tuk berhenti belajar karenanya dia menentang kebijakan orang tuanya yang melarangnya kuliah dan lebih menyarankan bekerja. Dia sadar betul tak berguna melawan ototoritas kampusnya, melihat pengalaman generasi sebelumnya yang doyan demo atau menentang kebijakan kampus, dia banyak belajar betapa kampus telah menjadi sistem kekuatan yang sulit ditembus, kampus telah menjadi gurita yang ratusan tangannya terselip diantara mahasiswa bahkan tertanam pada mereka yang ikutan demo. Sehingga mereka sering menjadi musuh dalam selimut dan menjatuhkan mental dan semangat perjuangan mahasiswa. 
Masih ingat betul dia saat menentang kebijakan tentang pemilihan Rektor, KKN, arogansi kampus yang memreteli ruang kreatif mahasiswa tanpa konfirmasi pada organisasi yang terkait, betapa semua ditentang pihak kampus selalu bisa menetralisir dengan menyuap beberapa yang berpengaruh dalam demo tersebut, kadang suap itu berupa janji yang katanya demi mahasiswa yang akhirnya janji itu redup dan terlupa atau sengaja dilupakan bersama waktu.
Begitulah dinamika kampusnya, Abdi selalu mencoba sadar telaah diri betapa mahasiswa dikampusnya adalah makhluk luar yang hinggap dikampus sehingga dalam menentukan segala kebijakan kampus mahasiswa tak pernah diikutkan. Padahal mahasiswa adalah salah satu elemen penting kampus, jika tak ada mahasiswa bagaimana bisa ada kampus.
Setelah cukup lama bertarung dan bergelut mengeluarkan kotoran perutnya, Abdi menyiram kotorannya dan membersihkan tubuhnya alias mandi. Hari ini dia harus menyelesaikan tugasnya sebagai mahasiswa, bayar registrasi. Dia berharap semoga tetap bisa kuliah walau jalannya seringkali tersendat. Setelah selesai semua keluarlah dia dari kamar mandi, ganti baju dan pergi. Entah semangat itu masih sama atau telah berubah, karena berbagai hal telah mengubah pandangan hidup seseorang, mungkinkah semester ini dia menjadi penjilat sehingga dapatkan bantuan dari kampus atau dalam diam terus menentang, entahlah....karena akhir selalu sama dan mahasiswa selalu kalah.



Q-Pely As-Suaiby
* Segala kesamaan nama dan tempat hanyalah rekayasa karena cerita ini hanya fiktif belaka


refleksi

mungkin sudah terlalu lama terjadi,bahkan telah menahun namun adakah kita sadari itu belum usai. Terlalu banyak luka yang belum terobati, terlalu banyak derita yang harus diungkap hingga ku tak sanggup lagi berkata-kata. Seperti bait yang terangkai dalam diri kita apakah kita hanya diam dan tak mau perduli............. entahlah!

Hamil ?

Ada seberkas cahaya temaram diatas pucuk pohon bambu, menyelip diantara ruang kosong awan putih yang berarak rapi. Dalam gubuk reot ini beralaskan tikar dari pandan kita terdiam bersama memandangi sawah yang setiap hari kita asuh dengan nafas kasih sayang. Aku masih ingat kata2 yang kau ucapkan ketika kita menanam padi dua bulan lalu, katamu " ini adalah anak kita, kita harus merawatnya dengan tulus, nanti jika waktu panen tiba, jangan terlalu kasar memotong mereka, kita semai mereka dengan pisau yang digerakkan oleh hati, biar mereka rasakan bahwa seluruh raga kita ikut merasa apa yang mereka rasakan."
"Engkau terlalu sentimentil." Sahutku
Namun engkau tiada mau perduli, membiarkan dialog itu menggantung bersama awan yang semakin enggan menjadi hujan. Tapi tetap saja dialog itu seperti sebuah bom waktu yang sengaja kau ikat dijantungku. Mungkin perutmu telah mulai berontak karena telah dua tahun kita menikah tetapi sampai saat ini bibitku belum pernah berhasil menyentuh kebunmu. Ma'af sayang aku pasti bukan lelaki yang lihai bercocok tanam, tapi setidaknya aku telah berusaha dengan seluruh kemampuanku. Setiap aku mau mulai mencangkul satu jam sebelumnya aku sengaja minum tiga butir kuning telur ayam jawa dicampur air jahe hangat. Kata emak dulu ayah sering melakukan hal yang sama, oleh karena itu ia selalu berhasil selesaikan seluruh ladang ibu, bukan hanya itu hasil jerih payah ayah telah tiga kali dipanen. Panen pertama kali jadi ningsih kakakku, yang kedua mereka dapatkan aku dan yang terakhir muncullah khairul.
Selain itu aku juga telah minta resep sama mak ijah, dukun tetangga desa yang terkenal ahli dalam menangani urusan kebutuhan suami istri. Aku mengenalnya dari karwo teman karibku sejak kecil, engkau juga mengenalnya kan?itu loh yang rumahnya berada ditikungan perempatan jalan menuju masjid kampung kita. Telah enam bulan ini aku mengikuti anjurannya mulai dari puasa senin kamis sampai beberapa posisi ideal untuk bercocok tanam. Tanda – tanda usaha itu berhasil belum sekalipun kudapatkan. Pernah suatu ketika engkau mengeluh perutmu mual, betapa senang aku dengan hal itu dengan harapan bahwa diperutmu telah tumbuh benih yang selama ini coba kutanam dengan penuh gairah dan semangat. Segera saja kau kuantar ke bu Lis, bidan satu-satunya di kecamatan kita.
Sesampainya disana kegirangan hatiku ditukar oleh rasa dongkol yang amat sangat karena melihat antrian pasien yang menunggu untuk diperiksa. Sementara itu engkau masih mengeluh dengan rasa sakit diperutmu. Hari itu otakku dijejali pertanyaan yang nakal sehingga rasa hormatku pada Negara kelahiranku tercinta ini menjadi berkurang dan kepercayaan pada pemimpinnya musnah sudah. Bagaimana tidak! bukankah Negara didirikan untuk kesejahteraan rakyatnya dan setiap warga Negara berhak mendapatkan penghidupan yang layak?, tapi kenyataannya dikecamatanku masih banyak yang melarat bin miskin. Jangankan bicara tentang kesehatan untuk makan sehari-hari saja susah. Ini masih tentang kesehatan yang mana puskesmas dikecamatan tempat kita tinggal cuma ada satu itupun bidannya cuma bu Lis yang dibantu oleh adiknya yang baru lulus dari SMA tahun kemarin. Belum lagi soal pendidikan dan seabrek permasalahan yang lain.
Langit di atas berwarna kelabu, sebentar lagi mendung dan pasti akan turun hujan. Telah saatnya tuhan menyirami kebunnya, hampir sebulan tuhan alpa tak menyapa penghuni bumi dengan sentuhan hujan. Padahal sebulan lalu setiap seminggu sekali pasti hujan bahkan pernah seminggu terakhir bulan lalu hujan turun setiap hari sehingga sungai dibelakang rumahku meluap seluruh warga kampungku di buat bingung olehnya, semua mengungsi di kantor kecamatan. Suasananya sangat berbeda bulan ini, musim hujan masih panjang tapi tak sekalipun turun hujan selama sebulan terakhir. Semoga Tuhan kali ini mau munurunkan hujan, setelah sebulan absent dikarenakan sibuk mengurusi permasalahan hambanya yang lain, agar padi yang kita tanam dahulu dapat tumbuh dengan subur. 
Waktu telah sore, kecamuk di otakku di hentakkan oleh panggilan Tuhan yang menggema dari surau samping rumah Bu Lis. Kau masih terus muntah – muntah, aku pun mulai jenuh menuggu, engkau belum juga diperiksa.
"Sabarlah."
Ucapku menghiburmu.
"Sampai kapan Pak? Perutku terasa ditendang-tendang"
Engkau terus saja mengeluh, sampai telah giliran waktumu dipanggil keruang periksa. kita berdua masuk pada ruang putih seukuran kamar kita ini. Ada semacam tirai putih memisahkan ruang lainnya. Setelah membuka lalu menutupnya kembali, engkau pun rebah diranjang dan menuturkan keluhmu.
Tak lama berselang engkau keluar, segera saja aku memberondongmu dengan beraneka peluru pertanyaan. Tapi engkau tetap diam dengan terus menggenggam sebungkus obat yang dibeli dari Bu Lis.
***

SEBISANYA

Sebisanya kita memaknai diri
Ketika mentari ditelan awan
Dan gerimis beralih hujan
Dahaga gersang lunas sudah
Sayup nada bagi negri menyentuh kebun sunyi
Sekali waktu gelegar menyambar
Memecah sepi
Engkau sapa hujan seperti dahulu
Biarkan ia menyelinap masuki rumah-rumahmu
Tanpa gelisah kau hidangkan secangkir kopi
dan kalia bercerita tentang kemarin sore
Kalian bertemu di pasar
Hujan menyapamu tiba-tiba
Saat engkau menawar harga beras yang kelewat mahal
Hujan pula yang mengantarmu pulang
Dengan sekilo jagung buat sarapan malam